ARTIKEL

Integrasi Kebijakan Industri, Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi di Negara Kepulauan

Selasa, 19/10/2012 00:00 WIB
Oleh :Daniel Mohammad Rosyid, PHd.

UUD 45 telah diamandemen menegaskan bahwa Indonesia adalah negara kepulauan yang bercirikan Nusantara. Ketegasan ini perlu diterjemahkan dalam berbagai kebijakan untuk mentransformasikan endowment factors ini menjadi besaran-besaran ilmu pengetahuan dan teknologi dengan nilai tambah yang tinggi bagi kemakmuran dan kesejahteraan bangsa. Karena keluasannya, penegasan ini juga menuntut bahwa upaya-upaya pembangunan dilaksanakan dengan melibatkan partisipasi yang luas oleh semua warga bangsa yang tersebar dalam bentangan Nusantara yang luas itu. Ini berarti wujud Nusantara yang sejahtera adalah justru cara terbaik untuk mempertahankan kesatuan Nusantara tersebut.

Untuk meningkatkan partisipasi yang luas dalam upaya penciptaan nilai tambah ini, Nusantara memerlukan jaringan infrastruktur komunikasi dan transportasi darat, laut dan udara dengan cakuypan dan jangkauan yang luas dapat diandalkan, aman, nyaman, dan terjangkau. Ini berarti diperlukan wahana transportasi dalam berbagai jenis dan ukuran untuk memfasilitasi gerakan manusia dan barang secara efisien, terjadwal dengan kapasitas dan frekuensi yang memadai. Rancang bangun wahana-wahana transportasi ini juga perlu memperhitungkan daya dukung lingkungan yang terbatas terutama di pulau-pulau kecil terluar Nusantara yang tersebar di beragam bentangan perairan dengan status kewenangan pengelolaan yang berbeda-beda.

Upaya mencapai kesejahteraan melalui penyediaan jaringan infrastruktur komunikasi dan transportasi serta penciptaan nilai tambah yang tinggi tersebut dapat dilakukan melalui industrialisasi. Industrialisasi yang berkelanjutan mensyaratkan beberapa hal. Yang pertama adalah ketersediaan bahan baku domestic yang melimpah. Ini berarti industri nasional harus berbasis sumber daya alam yang dapat diperbaharui (renewable resource-based). Nusantara memiliki sumberdaya kelautan dan kepulauan yang dapat diperbaharui yang melimpah.

Namun demikian, industrialisasi yang terlalu tergantung pada sumberdaya alam saja tidak akan memberi nilai tambah yang maksimal saat hasil-hasil industri tresebut mengalami komoditasi. Oleh karena itu, syarat kedua adalah kreatifitas inovatif berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi agar nilai tambah barang-barang dan jasa-jasa industri tersebut dapat lebih maksimal. Oleh karena dibutuhkan serangkaian kebijakan ristek dan pendidikan yang membangun kapasitas kreatifitas nasional sebagai intangible and produced capital bagi pembangunan bangsa.


Proses Deindustrialisasi Nasional

Sungguh patut disayangkan bahwa proses deindustrialisasi telah terjadi selama 10 tahun terakhir ini sejak kejatuhan Orde baru di tahun 1997-1998. Ini tentu saja sebuah ironi terbesar Indonesia di jaman reformasi. Padahal modernitas hampir-hampir tidak mungkin dicapai tanpa industrialisasi sebagai sector sekunder dengan nilai tambah yang cukup tinggi dan daya serap tenaga kerja yang besar. Kebijakan industri saat ini yang mendorong penguatan dan pendalaman sector industri hampir-hampir tidak ada, dikalahkan dengan kebijakan perdagangan yang cenderung ditaklukkan oleh ?pasar?. Akibat tekanan internasional yang cenderung neo-liberalistik ini, kebijakan yang menonjol saat ini adalah ?lebih baik beli atau impor (sekalipun bekas) daripada bikin sendiri. Indonesia seolah ingin pamer diri sebagai Negara yang ?pro-pasar? sesuai resep IMF. Orientasi ini terbukti keliru dan telah menyebabkan deindustrialisasi. Sebagai contoh, sampai saat ini Indonesia tidak memiliki industri mobil nasional semacam Proton Malaysia. Industri mobil nasional Timor yang telah pernah dirintis boleh dikatakan gagal. Kegagala ini disebabkan oleh kelemahan internal sekaligus faktor-faktor eksternal seperti lobby industri mobil Jepang yang tidak gembira dengan kerjasama Timor dengan KIA Korea. Hingga saat ini, yang ada hanya Agen Tunggal Pemegang Merk (ATPM) mobil-mobil Jepang dan Eropa serta Amerika Serikat. Tidak ada mobil produksi Indonesia dengan merk utuh nasional. Berbeda dengan Pemerintah Malaysia ataupun Cina, daya tawar nasional kita menghadapi produsen mobil asing ini hampir-hampir tidak ada.

Contoh berikutnya adalah industri pesawat terbang dan industri kapal yang hampir hampir mengalami nasib yang sama buruknya. Dalam beberapa tahun terakhir ini telah terjadi brain-drain yang luar biasa pada PT. IPTN dan PT. PAL Indonesia. Proyek N1250 PT IPTN dan Caraka Jaya PT. PAL praktis mandeg. Pemerintah gagal mendorong kelahiran produk-produk transportasi darat, laut dan udara nasional, apalagi yang dapat dibanggakan. Di samping masalah-masalah manajemen internal, tidak ada kebijakan terpadu lintas departemen yang memperkuat dan menjamin demand atas produk-produk pesawat terbang dan kapal untuk dalam negeri, bahkan untuk memenuhi kebutuhan BUMN lain seperti industri semen, pupuk, migas dan sebagainya.

Biaya modal yang tinggi, insentif fiskal yang terbatas telah mengakibatkan industri maritim nasional tidak kompetitif. Perusahaan-perusahaan pelayaran dalam negeri praktis tidak mampu membeli armada-armada baru sehingga terpaksa mengimpor kapal-kapal bekas eks Cina, Jepang atau Hongkong. Kapal-kapal Indonesia saa ini rata-rata berumur di atas 15 tahun sehingga tidak efisien. Kredit Ekspor saat ini diberikan pada perusahaan pelayaran, bukan pada galangan kapal. Karena galangan kapal nasional yang belum efisien, perusahaan pelayaran cenderung membeli kapal-kapal baru impor.

Inpres No, 5 Tahun 2005 tentang Pemberdayaan Pelayaran Nasional melalui implementasi azas cabbotage dan UU No. 17/2008 tentang Pelayaran Nasional yang mereformasi pengelolaan pelabuhan diharapkan mampu meningkatkan iklim sektor maritime nasional. Kedua regulasi ini diharapkan mampu meningkatkan efisiensi system transportasi nasional (melalui peningkatan efisiensi pelabuhan) sehingga perusahaan-perusahaan pelayaran mampu mengadakan armada-armada baru. Namun demikian, masih diperlukan kebijakan-kebijakan lain agar industri maritime nasional bangkit menjadi salah satu tulang punggung pembangunan nasional.


Kebijakan Buta Infrastruktur

Tidak belajar dari keberhasilan Pemerintah Orde Baru, pemerintah saat ini betul-betul menderita ?buta infrastruktur?. Pemilihan langsung telah mendorong pragmatisme pemimpin nasional dan daerah sehingga berpikir jangka pendek selama masa jabatannya saja. Padahal pembangunan infrastruktur memerlukan cara berpikir panjang. Pragmatisme ini wujud dalam peran Badan Perencanaan Pemba-ngunan yang juga mengalami penurunan kredibilitas. Pemerintah pasca reformasi boleh dikatakan tidak mengembangkan infrastruktur Indonesia, terutama prasarana transportasi, irigasi dan pendidikan. Jika pun ada blue print-nya, dokumen ini hanya tinggal sebagai dokumen, tenggelam dalam hiruk-pikuk panggung politik jangka pendek. Ini membahayakan masa depan Indonesia sebagai proyek yang belum selesai yang mem-butuhkan mentalitas negarawan yang berpikir jangka panjang.

Keterbelakangan infrastruktur transportasi nasional mengaki-batkan dua implikasi serius. Pertama, Indonesia menjadi tidak menarik untuk investasi karena biaya produksi akan tinggi jika akses ke pelabuhan terdekat dari kawasan hinterland tidak efisien atau tidak dibangun. Kedua, kesenjangan spasial akan mendorong perasaan dianaktirikan pada kawasan-kawasan terpencil sehingga dapat memicu upaya-paya separatisme dan disintegrasi. Implikasi kesenjangan infrastruktur ini berbahaya secara ekonomi maupun politik.

Kebijakan transportasi nasional kita juga tidak dirancang sebagai pemicu kebangkitan industri. Kebijakan transportasi yang terlalu berorientasi kendaraan individu (mobil dan sepeda motor) jelas-jelas menguntungkan Jepang sebagai eksportir mobil. Ini juga menyebabkan ketergantungan pada BBM yang semakin tinggi.Yang berkembang justru jalan tol (inipun lambat juga) dan juga (rencana) pembangunan jembatan-jembatan dan terowongan antar pulau seperti jembatan Suramadu. Industri perkeretaapian nasional juga masih terbengkalai dan tidak berkembang sehingga hampir tiap tahun kita mencatat rangkaian musibah kereta api.

Negeri Kepulauan Nusantara jelas-jelas lebih membutuhkan perluasan jaringan kereta api, penyeberangan, pelayaran dan penerbangan antar pulau terutama untuk menjangkau pulau-pulau terluar untuk mendorong kegiatan ekonomi masyarakat kepulauan. Saat ini, yang dibutuhkan adalah armada angkutan antar pulau semacam ?Kijang Laut Nasional? baik untuk penumpang (untuk 60-80 penumpang) maupun light cargo berkecepatan tinggi (paling tidak 20 knots) dengan kemampuan layanan dengan frekuensi yang tinggi. Juga dibutuhkan semacam ?Kijang Udara Nasional? yang memberikan layanan penerbangan antar pulau. Solusi kapal besar dengan frekuensi rendah saat ini terbukti gagal menghindari alienasi pulau-pulau kecil terutama saat musim Barat.

Angka kecelakaan kereta api dan pelayaran laut yang tinggi di Indonesia juga menunjukkan bahwa perhatian kita pada layanan penumpang KA dan laut ini masih amat terbelakang sehingga statistic yang mengerikan ini dianggap tidak serius. Kecelakaan KA dan kapal laut masih saja dianggap sebagai human error bukan policy blunder. Seharusnya Menteri Perhubungan secara gentlemen mengundurkan diri, bukan malah memecat masinis atau petugas sinyal KA atau Administratur Pelabuhan.

Banyak penelitian sudah dilakukan untuk menyediakan rancang bangun alat-alat transportasi baru yang tidak konvensional seperti water jet propelled, Long and Narrow Trimaran berkapasitas 80 penumpang dan juga teknologi Wing In Ground Effects (WIGE). Dua jenis wahana laut ini mampu memberikan seaworthiness yang baik sekaligus layak secara ekonomi karena efisiensi bahan bakarnya. Saying sekali hasil penelitian ini belum ditindaklanjuti hingga tahap produksi missal oleh galangan nasional ataupun IPTN. Ini sekaligus menunjukkan ketiadaan sinergi antara kebijakan industri, ristek dan pergurusn tinggi sebagai lembaga pelaksana penelitian.


Kementrian Perguruan Tinggi dan Riset

Sementara itu, pendidikan tinggi di Indonesia juga belum berorientasi riset, masih terobsesi untuk menghasilkan lulusan yang akan mengisi sektor industri. Pendidikan pascasarjana Indonesia dapat dikatakan masih terbelakang dengan kaitan industri yang masih rendah. Untuk menjadi sebuah universitas riset sebuah perguruan tinggi harus mampu menghasilkan paling tidak 50 doktor/tahun. Ini mensyaratkan kapasitas penelitian yang tinggi yang memerlukan dukungan pendanaan kemitraan industri.

Namun dengan kebijakan industri yang lemah saat ini, banyak sarjana teknik yang tidak memiliki kesempatan untuk memasuki bidang design and engineering. Tidak banyak lahir para industrialis yang banyak hanyalah para pedagang besar. Akibatnya, banyak dari para sarjana teknik ini hanya berperan di bidang operator, pemeliharaan dan terburuk hanya menjual produk-produk industri impor. Padahal nilai tambah tertinggi justru ada di design and engineering.

Dengan semakin tingginya angka pengangguran sarjana saat ini, orientasi perguruan tinggi harus diubah lebih ke kualitas lulusan dengan wawasan wirausahawan yang kuat dan beorientasi riset serta krearifitas. Keterbelakangan perkembangan industri maritime sebagian disebabkan karena tidak banyak sarjana yang terjun ke bisnis maritime dengan membuka usaha baru di bidang transportasi ataupun produksi kapal. Orientasi pendidikan tinggi teknologi pada system-sistem besar sebagian telah menyebabkan wawasan bisnis yang terbatas.

Ole karena itu, perlu dikembangkan pendidikan tinggi teknologi yang berorientasi system-sistem kecil semacam teknologi kapal kecil ataupun teknologi pesawat terbang kecil (small craft technology). Industri teknologi semacam ini tidak memerlukan investasi yang besar sehingga bias diwujudkan dalam skala industri kecil dan menengah. Dari beberapa proyek small craft technology di ITS sejak tahun 2002, penulis mencatat bahwa para calon sarjana teknik memperoleh kesempatan untuk belajar secara tuntas sejak perancangan, pemilihan material, penentuan metoda dan skedul produksi sampai mengoperasikan produk-produk teknik. Mereka juga mengembangkan kompetensi bekerja dalam kelompok dan kepemimpinan bisnis.

Pemisahan Kebijakan Pendidikan Tinggi dan Riset saat ini tidak menguntungkan bagi penguatan Sistem Inovasi Nasional dan pengembangan industri termasuk industri maritime. Kementrian riset perlu menyerap Ditjen Dikti dari Depdiknas agar kebijakan ristek memperoleh dukungan langsung dari perguruan tinggi dan perguruan tinggi lebih berorientasi pada mutu dan riset. Ini juga berarti sebuah tuntutan agar pendidikan pascasarjana lebih diperkuat dan dipadukan dengan Lembaga Penelitian perguruan tinggi. Pada saat ini, keberadaan Program Pascasarjana dan Lembaga Penelitian masih kurang sinerjik dan tidak terintegrasi dengan baik.

Selama 20 tahun terakhir ini baik Diten Dikti Depdiknas maupun Kementrian Negara Riset dan Teknologi (KNRT) meluncurkan program-program penelitian sendiri-sendiri. Sekalipun akhir-akhir ini ada upaya memadukan kedua program penelitian ini, di masa depan, program-program ini perlu dikelola secara lebih terpadu melalui Kementrian Riset dan Perguruan Tinggi. Sistem Inovasi Nasional akan berfungi lebih baik jika kebijakan riset dan Dikti ini dipadukan. Dengan alokasi dana APBN mencapai 20%, Depdiknas saat ini merupakan departemen yang paling gemuk sehingga perlu dirampingkan. Di pihak lain KNRT saat ini terlalu kecil sehingga kurang efektif.


Teknologi Kepulauan

Negara RI sebagai Negara kepulauan dengan cirri Nusantara memerlukan dukungan prasarana berbasis teknologi sekalipun memiliki cirri-ciri umum sebagai man-made system, menuntut spesifikasi yang khas. Karena operational requirements yang khas ini, diusulkan kluster teknologi yang baru, sebut saja teknologi kepulauan. Teknologi kepulauan merupakan interseksi antara teknologi kelautan/maritime dengan teknologi benua. Pulau, terutama pulau kecil sekalipun menyediakan ruang yang readily habitable, namun daya dukung lingkungannya terbatas. Tuntutan (requirement) self sustainability tetap tinggi namun tidak setinggi system-sistem kelautan, namun lebih tinggi daripada system-sistem benua/darat.

Kapal dan pesawat terbang kecil merupakan dua jenis teknologi kepulauan yang diperlukan untuk mendukung akses yang berkelanjutan bagi pulau-pulau kecil dengan daya dukung lingkungan yang terbatas. Persoalannya adalah pada peningkatan frekuensi kunjungan, kenyamanan dan keamanan/keselamatan terutama untuk angkutan penumpang, baik untuk penduduk maupun wisatawan.

Pulau-pulau kecil dengan daya dukung lingkungan yang terbatas juga tidak mungkin dibebani dengan fasilitas dermaga yang berat. Yang dibutuhkan adalah fasilitas dermaga sederhana yang murah dan fleksibel. Dermaga untuk pulau-pulau kecil ini akan menjadi platform transisi dari kondisi water-borne ke land-borne yang efisien.

Pulau-pulau kecil juga memerlukan pasokan energi terbarukan dan produksi air bersih. Teknologi kepulauan mencakup beragam teknologi konversi energi yang diperlukan untuk mendukung kegiatan di pulau-pulau kecil terutama yang berbasis jasa lingkungan laut seperti wisata bahari.

Pendekatan perikanan dan teknologi kelautan yang digunakan sejauhini terbukti tidak memadai. Teknologi kepulauan juga mensyaratkan dukungan pendekatan lintas disiplin yang lebih baik, termasuk pendekatan ekonomi, sosiologi dan politik yang sesuai dengan taqdir alamiah Nusantara sebagai negeri kepulauan. Studi-studi ekonomi, sosiologi dan politik kepulauan perlu dikembangkan.


Penutup

Kebangkitan Indonesia sebagai satu dari 7 raksasa ekonomi (BRICS++) dunia pada tahun 2050-an sebagaimana diramalkan oleh Goldman Sachs memerlukan syarat-syarat yang harus dipenuhi. Penulis berpendapat, krisi global saat ini merupakan indikasi kuat bahwa bangsa Indonesia perlu melakukan perubahan-perubahan pada pendekatan dan cara pembangunannya. Krisi ini harus dimanfaatkan untuk melakukan konsolidasi internal agar dampak krisis global ini bias diminimalkan atau bahkan dipakai sebagai peluang untuk mengejar ketertinggalan dari Brazil, Rusia, India dan Cina dan kebnagkitan Indonesia sebagai kekuatan maritime global di tengah-tengah a post American World.

Konsolidasi internal akan terjadi sebagian melalui pemilihan anggota DPR dan presiden dalam tahun 2009 ini. Perubahan-perubahan kepemimpinan nasional perlu didorong agar juga mencakup dan membuahkan reorientasi pembangunan nasional yang lebih memanfaatkan sumberdaya kelautan dan kepulauan sebagai sumber-sumber pertumbuhan pembangunan baru, sekaligus mendorong penyebaran prakarsa penciptaan nilai tambah, memperkuat pasar dalam negeri dan sekaligus meningkatkan kohesivitas nasional.

Konsolidasi nasional ini dapat diwujudkan melalui kebijakan industri yang lebih kuat yang ditujukan untuk membangun basis manufaktur nasional yang kuat, terutama basis industri transportasi maritime. Pembangunan industri nasional ini merupakan bagian tak terpisahkan dalam upaya penguasaan teknologi yang penting dalam rangka membangun ketahanan nasional.

Oleh karena itu diusulkan agar pembelanjaan pemerintah diarahkan untuk membangun industri yang membangun infrastruktur transportasi nasional yang akan mendorong kebangkitan industri nasional, terutama industri teknologi kepulauan. Melalui kebijakan ristek dan Dikti yang terpadu dan berorientasi mutu dan berwawasan wirausaha, upaya kebangkitan industri nasional ini dapat didukung melalui pengembangan pendidikan tinggi dan penelitian teknologi kepulauan ini yang memadukan pendekatan ilmu ekonomi, sosiologi dan politik.